Preferensi Anak Terhadap Rasa Manis dan Asin Serta Hubungannya dengan Aspek Lain
Para ahli dari Monell Chemical Senses Center menemukan bahwa anak-anak yang menyukai rasa manis juga memiliki tingkat kesukaan yang tinggi terhadap rasa asin, dan secara umum, tingkat kesukaan terhadap rasa manis dan asin ini melebihi orang dewasa. Kedua preferensi rasa ini tidak hanya berhubungan dengan asupan makanan, melainkan juga pertumbuhan dan dapat berdampak pada usaha dalam mengubah pola makan anak.
Banyak penyakit pada masyarakat modern berawal dari minimnya ragam makanan, akibatnya anak mengkonsumsi gula dan garam lebih banyak dari nilai yang direkomendasikan, sehingga dapat berpengaruh pada kesehatan. Oleh karena itu diperlukan pemahaman biologis dibalik selera anak terhadap rasa sebagai langkah awal untuk mengurangi asupannya.
“Studi yang kami lakukan menunjukkan bahwa kesukaan terhadap rasa asin dan manis merupakan karakteristik biologi anak” kata Julie Mennella, PhD, seorang biopsikolog dari Monell Chemical Sense Center. Aspek biologi mempengaruhi kita untuk suka dan mengonsumsi makanan manis tinggi kalori dan makanan asin tinggi sodium, dan hal ini benar-benar berlaku pada anak. “Tingginya preferensi anak terhadap rasa manis dan asin menyebabkan anak mudah menerima makanan modern, berbeda dengan makanan pada zaman dulu dimana gula dan garam merupakan komoditas yang mahal dan jarang ditemukan”.
Dalam studi yang dipublikasikan online di PLOS ONE, Mennella dan rekannya menguji preferensi rasa asin dan manis pada 108 anak berusia antara 5 dan 10 tahun dan ibu mereka. Metode pengujian yang sama digunakan untuk anak-anak dan ibu mereka, yaitu mencicipi kaldu dan cracker dengan kandungan garam bervariasi, serta air gula dan jeli dengan kandungan gula yang bervariasi. Metode yang dikembangkan ini dapat menentukan preferensi selera, bahkan untuk balita. Dengan meminta subyek membandingkan rasa dari dua tingkat yang berbeda, kemudian memilih rasa yang menjadi favorit mereka, dan membandingkan dengan rasa favorit lainnya, berulang-ulang sampai teridentifikasi rasa yang paling disukai.
Mennella juga mencatat makanan dan minuman yang dikonsumsi ibu dan anak dalam 24 jam terakhir serta memperkirakan dari mana sumber sodium sehari-hari, kalori, dan asupan gula tambahan. Sampel air liur para subyek dikumpulkan, untuk menentukan adanya hubungan genotip untuk gen reseptor manis, dan sampel urine untuk mengukur kadar NTX, penanda untuk pertumbuhan tulang. Para subyek juga diukur berat badan, tinggi, dan persentase lemak tubuh.
Analisis keseluruhan data menunjukkan bahwa preferensi manis dan asin berkaitan erat pada anak-anak, dan lebih tinggi secara keseluruhan dibandingkan dengan orang dewasa. Kondisi ini berdampak pada pertumbuhan dan perkembangan, seperti anak-anak yang dengan postur tubuh tinggi untuk seusia mereka lebih suka minuman manis, dan anak-anak overweight lebih
menyukai sup asin. Ada beberapa indikasi bahwa preferensi pada rasa manis terkait dengan pertumbuhan tulang, tapi membutuhkan studi lanjutan pada kelompok yang lebih besar.
Preferensi rasa manis dan asin berhubungan pula dengan orang dewasa. Orang dewasa, (bukan pada anak-anak) memiliki gen reseptor rasa manis pada pengecapnya, sehingga dapat menunjukkan tingkat kemanisan yang paling disukai. “Terdapat perbedaan genetik bawaan yang menyebabkan preferensi rasa pada orang dewasa” kata Danielle Reed, PhD, “ Tetapi untuk anak, terdapat faktor lain, misalnya masa pertumbuhan yang menjadi pengaruh kuat dibanding faktor genetik”
Baik anak-anak maupun orang dewasa yang memiliki tingkat kesukaan rasa asin yang tinggi, dilaporkan mengonsumsi lebih banyak garam selama dalam jangka 24 jam, akan tetapi tidak ada korelasi dengan preferensi rasa manis dengan asupan gula. Peran orang tua sangat diperlukan dalam mengontrol asupan gula dan asupan garam pada anak. Selain itu, kondisi tersebut dapat mencerminkan tingginya penggunaan pemanis buatan pada makanan untuk anak.
Nilai asupan garam dan gula pada anak-anak di Amerika saat ini melebihi dari angka yang direkomendasikan. Pada anak umur 2-8 tahun, asupan gula terhitung mencapai lebih dari setengah kalori yang ditetapkan (kalori yang diterapkan untuk anak 2-8 tahun adalah 130). Untuk anak umur 4-13 tahun, konsumsi garam lebih dari dua kali AKG (1200-1500 mg/hari AKG untuk anak 4-13 tahun). Subyek anak-anak pada studi ini menunjukkan dua per tiga diantaranya adalah overweight atau obesitas serta mengonsumsi garam sebanyak dua kali dari AKG, selain itu asupan gulanya rata-rata 20 sendok teh atau setara 300 kalori setiap hari.
Pedoman dari badan autoritas terkemuka, termasuk WHO, AHA, USDA, dan Institute of Medicine, menyarankan untuk mengurangi konsumsi gula dan garam pada anak, tetapi hal ini menjadi hal yang sulit. Menanggapi impikasi dari penilitiannya, Mennella mengungkapkan “Studi ini memberi pelajaran bagi orang tua agar lebih pedulu dan perlu melakukan modifikasi pada menu makanan anak untuk memenuhi nutrisi yang telah direkomendasikan”
Pemahaman dasar biologi yang mendorong keinginan untuk menyukai rasa manis dan asin pada anak menggambarkan kerentanan mereka terhadap situasi pangan saat ini. Tapi sebagai catatan positif, Mennella mengamati “Hal ini juga dapat membuka jalan untuk dapat mengembangkan strategi yang lebih mendalam dan informasi untuk mempromosikan makanan sehat yang memenuhi nutrisi untuk tumbuh kembang anak”.